Kesenjangan Gender dalam AI: Pekerjaan Perempuan Menghadapi Risiko Otomatisasi Tiga Kali Lipat

BigGo Editorial Team
Kesenjangan Gender dalam AI: Pekerjaan Perempuan Menghadapi Risiko Otomatisasi Tiga Kali Lipat

Kecerdasan buatan terus membentuk ulang tenaga kerja global, tetapi dampaknya jauh dari merata di berbagai kelompok demografis. Penelitian terbaru mengungkapkan pola yang mengkhawatirkan: otomatisasi AI mengancam pekerjaan perempuan hampir tiga kali lipat dibandingkan pekerjaan laki-laki, memunculkan pertanyaan mendesak tentang kesetaraan teknologi dan masa depan pekerjaan.

Dampak AI yang Tidak Merata pada Lapangan Kerja

Laporan terobosan dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Institut Penelitian Nasional Polandia ( NASK ) telah mengungkap kesenjangan gender yang mencolok dalam dampak AI di tempat kerja. Di negara-negara berpenghasilan lebih tinggi, sekitar 9,6% pekerjaan perempuan menghadapi risiko tinggi otomatisasi AI, dibandingkan dengan hanya 3,5% posisi yang diduduki oleh laki-laki. Perbedaan hampir tiga kali lipat ini menyoroti bagaimana kemajuan teknologi dapat memperburuk ketidaksetaraan yang ada di tempat kerja daripada menguranginya.

Risiko otomatisasi AI berdasarkan gender di negara-negara berpenghasilan tinggi:

  • Pekerjaan wanita dengan risiko tinggi: 9,6%
  • Pekerjaan pria dengan risiko tinggi: 3,5%

Peran Administratif dalam Sasaran

Risiko yang tidak proporsional terhadap pekerjaan perempuan sebagian besar berasal dari pola segregasi pekerjaan. Posisi klerikal dan administratif—yang secara tradisional didominasi oleh perempuan—menunjukkan paparan tertinggi terhadap kemampuan otomatisasi AI. Antara tahun 2000 dan 2019, perempuan menduduki antara 93% dan 97% peran sekretaris dan asisten administratif di Amerika Serikat, sementara hanya terdiri dari 40-44% dari keseluruhan angkatan kerja. Posisi administratif ini menempati peringkat kelima profesi paling umum bagi perempuan Amerika menurut statistik Departemen Tenaga Kerja.

Posisi administratif di AS (2000-2019):

  • Persentase yang dipegang oleh perempuan: 93-97%
  • Perempuan dalam angkatan kerja secara keseluruhan: 40-44%

Otomatisasi versus Augmentasi

Profesor asosiasi Harvard Business School, Rembrand Koning, membingkai tantangan ini melalui dua lensa berbeda: otomatisasi versus augmentasi. Kita dapat memikirkan ini sebagai ancaman, yaitu bahwa AI akan mengotomatisasi banyak pekerjaan klerikal yang mungkin lebih banyak dipegang oleh perempuan, jelas Koning. Di sisi lain, kita dapat memikirkan AI sebagai pengotomatisasi banyak pekerjaan ini, memungkinkan pekerja untuk mengambil tugas yang mungkin dibayar lebih tinggi. Perspektif ini menunjukkan AI bisa menghilangkan pekerjaan atau mengubahnya menjadi peran yang lebih bernilai—dengan hasil yang sangat bergantung pada pendekatan implementasi.

Perbedaan Gender dalam Adopsi AI

Memperburuk risiko otomatisasi adalah kesenjangan adopsi yang mengkhawatirkan. Penelitian Koning mengungkapkan perempuan menggunakan alat AI dengan tingkat sekitar 25% lebih rendah dibandingkan rekan laki-laki mereka. Kesenjangan ini tampaknya terkait dengan kekhawatiran etis dan dinamika tempat kerja—perempuan sering khawatir dianggap curang karena menggunakan AI atau kecerdasan mereka dipertanyakan oleh kolega laki-laki. Sementara itu, laki-laki cenderung menunjukkan kepercayaan diri yang lebih besar—mungkin terlalu percaya diri—bahwa penggunaan AI akan menguntungkan karier mereka tanpa konsekuensi negatif.

Kesenjangan adopsi AI:

  • Wanita menggunakan alat AI dengan tingkat sekitar 25% lebih rendah dibandingkan pria

Tanggung Jawab Kepemimpinan

Mengatasi kesenjangan gender ini memerlukan intervensi kepemimpinan yang proaktif. Daripada menempatkan beban pada perempuan secara individu untuk mengatasi hambatan adopsi, Koning menekankan bahwa pemimpin tempat kerja harus menetapkan ekspektasi dan sumber daya yang jelas seputar penggunaan AI. Ini menjadi sangat penting di lingkungan di mana eksperimen AI terjadi secara informal dan didominasi oleh karyawan laki-laki. Jika kita ingin memastikan itu inklusif, mencakup semua pekerja, itu adalah tugas pemimpin untuk melibatkan semua orang, kata Koning.

Konteks Lebih Luas tentang Keamanan AI

Di luar dampak gender, keamanan AI muncul sebagai keprihatinan masyarakat yang kritis. Seperti yang disorot dalam diskusi panel Imagination in Action baru-baru ini, keamanan AI tidak hanya tentang mencegah skenario fiksi ilmiah tentang pengambilalihan mesin. Sebaliknya, risiko langsung melibatkan bias algoritma yang mempengaruhi akses ke perumahan, pekerjaan, kredit, dan bahkan hasil hukum. Panelis Albert Cahn menunjuk pada contoh dunia nyata seperti sistem deteksi penipuan asuransi Midas yang secara keliru menandai individu yang tidak bersalah, menciptakan kesulitan yang signifikan.

Pengukuran dan Tata Kelola Berkelanjutan

Para ahli menekankan bahwa memastikan keamanan AI memerlukan kewaspadaan yang berkelanjutan. Seperti yang dicatat panelis Cam Kerry, Dalam pertukangan, pepatahnya adalah 'ukur dua kali, potong sekali.' Ketika menyangkut AI, harus 'ukur, ukur, ukur dan ukur lagi.' Proses penilaian berkelanjutan ini harus diperluas dari pengembangan sistem hingga penerapan dan seterusnya. Organisasi seperti National Institute of Standards and Technology sedang mengembangkan kerangka pengukuran, tetapi upaya-upaya ini memerlukan peningkatan yang signifikan untuk menyamai kemajuan pesat AI.

Bergerak Maju dengan Bertanggung Jawab

Saat AI terus mengubah tempat kerja secara global, mengatasi dampaknya yang tidak merata menjadi semakin mendesak. Potensi teknologi untuk memperburuk atau mengurangi ketidaksetaraan sangat bergantung pada bagaimana teknologi tersebut diimplementasikan dan diatur. Dengan mengenali efek tidak proporsional AI pada pekerjaan perempuan, menetapkan praktik adopsi yang inklusif, dan menerapkan langkah-langkah keamanan yang kuat, organisasi dapat membantu memastikan kemajuan teknologi menguntungkan semua pekerja secara adil daripada memperkuat kesenjangan yang ada.