Munculnya Large Language Models ( LLMs ) telah menciptakan tantangan tak terduga bagi para pencipta bahasa pemrograman. Meskipun sistem AI ini dapat menghasilkan kode dari prompt bahasa alami, mereka secara tidak sengaja mempersulit adopsi bahasa pemrograman baru.
Jebakan Data Pelatihan
Para developer yang mengerjakan bahasa pemrograman baru menemukan masalah mendasar: LLMs bekerja paling baik dengan bahasa yang memiliki data pelatihan ekstensif secara online. Hal ini menciptakan siklus yang memperkuat diri sendiri di mana bahasa-bahasa mapan seperti Python dan JavaScript menjadi semakin dominan, sementara bahasa-bahasa baru berjuang untuk menemukan pijakan mereka.
Masalah ini menjadi sangat jelas ketika mencoba menggunakan LLMs dengan bahasa yang berkembang pesat seperti Zig . Karena bahasa-bahasa ini berubah dengan cepat, AI sering menghasilkan kode yang sudah usang berdasarkan versi lama yang ditemukan dalam data pelatihannya. Untuk bahasa yang lebih khusus seperti Faust , hasilnya bisa mengecewakan karena terbatasnya contoh dalam dataset pelatihan.
Tantangan Data Pelatihan LLM untuk Bahasa Pemrograman Baru:
- Zig: Menghasilkan kode yang ketinggalan zaman karena evolusi bahasa yang cepat
- Faust: Hasil yang buruk karena keterbatasan contoh pelatihan
- React: Kode yang tidak konsisten mencampur berbagai idiom dan praktik
- Solusi fine-tuning: Membutuhkan dataset besar dan keahlian teknis
Fine-Tuning sebagai Solusi Potensial
Beberapa developer sedang mengeksplorasi fine-tuning sebagai solusi alternatif. Dengan melatih model yang sudah ada pada bahasa pemrograman tertentu, dimungkinkan untuk meningkatkan performa mereka secara signifikan. Kesuksesan terbaru dengan model seperti Goedel-Prover-V2-32B , yang di-fine-tune untuk proof Lean , menunjukkan harapan untuk pendekatan ini.
Namun, solusi ini memerlukan dataset yang substansial dan keahlian teknis, membuatnya menantang bagi proyek bahasa yang lebih kecil untuk diimplementasikan secara efektif.
Contoh Fine-Tuning yang Berhasil:
- Goedel-Prover-V2-32B : Berbasis Qwen3-32B , di-fine-tune untuk bukti Lean
- Fine-tuning Agda : Hasil yang berhasil bahkan dengan dataset kecil dan tidak rapi
- Persyaratan: Dataset besar dan beragam untuk performa optimal
Dilema Kualitas vs Kuantitas
Menariknya, memiliki lebih banyak data pelatihan tidak selalu berarti hasil yang lebih baik. Beberapa developer melaporkan bahwa framework populer seperti React dapat menyebabkan generasi kode yang tidak konsisten, mencampur gaya coding yang berbeda dan praktik yang sudah usang. Hal ini membuat beberapa orang lebih memilih bekerja dengan bahasa yang kurang populer namun lebih konsisten di mana mereka dapat melengkapi bantuan AI dengan keahlian mereka sendiri.
Melampaui Sintaks: Bahasa sebagai Alat Berpikir
Diskusi ini meluas melampaui sekadar generasi kode hingga tujuan fundamental bahasa pemrograman. Alat-alat ini tidak hanya berfungsi sebagai metode komunikasi tetapi sebagai kerangka kognitif yang membentuk cara developer berpikir tentang masalah. Terminologi medis membantu dokter berpikir tentang masalah kesehatan, SQL membantu dengan hubungan data, dan bahasa fungsional mendorong pendekatan pemecahan masalah yang lebih bersih.
Jika kita kehilangan alat untuk pemikiran yang tepat, kita mungkin kehilangan kemampuan untuk memiliki pemikiran yang tepat sama sekali.
Paradoks Inovasi
LLMs dilatih pada solusi yang sudah ada, membuatnya secara inheren berorientasi ke masa lalu. Hal ini menimbulkan kekhawatiran apakah kemajuan dalam desain bahasa pemrograman mungkin akan stagnan jika developer menjadi terlalu bergantung pada alat AI yang hanya dapat mengombinasikan ulang pola yang sudah ada.
Tantangan bagi pencipta bahasa adalah menemukan cara untuk berinovasi sambil bekerja dalam ekosistem yang semakin didominasi oleh sistem AI yang lebih menyukai pendekatan yang sudah mapan daripada yang eksperimental.
Melihat ke Depan
Meskipun menghadapi tantangan-tantangan ini, banyak developer percaya masih ada nilai dalam menciptakan bahasa pemrograman baru. Kuncinya mungkin terletak pada fokus pada domain khusus di mana presisi dan ekspresi spesifik lebih penting daripada kompatibilitas luas dengan alat AI yang sudah ada. Bahasa alami, meskipun fleksibel, mungkin tidak akan pernah menyamai ketepatan dan kemampuan pengulangan yang dapat diberikan oleh bahasa pemrograman khusus.
Masa depan kemungkinan akan memegang keseimbangan antara bantuan AI dan inovasi manusia, di mana bahasa baru harus membuktikan nilainya tidak hanya kepada developer manusia, tetapi juga kepada sistem AI yang semakin membantu menulis kode.
Referensi: Working on a Programming Language in the Age of LLMs