Dunia desain sedang mengalami diskusi hangat tentang apakah pendekatan design thinking yang populer telah menjadi lebih merugikan daripada membantu. Perdebatan ini dipicu oleh sebuah buku baru berjudul The Invention of Design karya Maggie Gram, yang mengkritisi bagaimana bidang desain telah berkembang melampaui dekorasi sederhana untuk mengatasi masalah sosial yang kompleks.
Percakapan ini berpusat pada pertanyaan mendasar: Apakah desain benar-benar dapat mengubah dunia, atau apakah bidang ini telah menjadi terlalu ambisius untuk kebaikannya sendiri? Banyak anggota komunitas mempertanyakan apakah desainer telah melampaui batas mereka dengan mencoba menyelesaikan isu-isu sosial seperti ketidakadilan rasial dan ketimpangan ekonomi melalui metode desain.
Masalah Desainer yang Sombong
Titik kritik utama berfokus pada apa yang dilihat banyak orang sebagai sifat elitis budaya desain modern. Anggota komunitas menggambarkan pertemuan dengan desainer yang mengenakan kacamata dan pakaian berwarna mencolok sebagai simbol status, menghadiri pameran internasional dan festival desain yang mahal. Para desainer ini sering berasal dari latar belakang kaya dan tampaknya lebih fokus pada promosi diri daripada menciptakan perubahan yang bermakna.
Kritik ini meluas ke pendidikan desain dan budaya profesional, di mana magang tanpa bayaran dan biaya kuliah yang mahal menciptakan hambatan yang menghalangi individu berbakat namun kurang mampu. Hal ini telah menyebabkan bidang kreatif yang semakin didominasi oleh mereka yang mampu berpartisipasi, bukan mereka yang memiliki ide terbaik.
Kritik Utama terhadap Budaya Desain Modern
- Elitisme: Hambatan tinggi untuk masuk melalui magang tanpa bayaran dan pendidikan yang mahal
- Superfisialitas: Fokus pada promosi diri dan simbol status daripada pekerjaan yang bermakna
- Melampaui Batas: Mencoba menyelesaikan masalah sosial kompleks di luar cakupan desain
- Definisi Masalah yang Buruk: Mengoptimalkan solusi tanpa mempertanyakan apakah masalah telah diidentifikasi dengan benar
- Kurangnya Hasil yang Terukur: Tidak seperti teknik, kriteria keberhasilan desain seringkali subjektif dan tidak jelas
Keterbatasan Design Thinking
Komunitas ini sangat kritis terhadap design thinking sebagai metode pemecahan masalah. Awalnya dikembangkan di d.school Universitas Stanford sekitar tahun 2015, pendekatan ini berjanji untuk memfokuskan pengembangan produk pada kebutuhan manusia yang nyata melalui workshop, sticky notes, dan latihan pemetaan empati. Namun, banyak praktisi menemukan bahwa hal ini sering mengarah pada optimalisasi solusi yang salah.
Ini mengasumsikan sistem sudah mengajukan pertanyaan yang tepat. Anda masuk dengan sticky notes, peta empati, apa pun. Tapi brief-nya sudah salah cakupan dari awal. Anda mencari tahu bagaimana membuat formulir lebih lancar, bukan apakah formulir itu perlu ada.
Metode ini mendapat popularitas di kalangan eksekutif tetapi tampaknya memudar setelah pandemi COVID-19 mengganggu pendekatan yang berat workshop. Kritikus berpendapat bahwa realitas teknis dan finansial selalu mengalahkan idealisme desain, tidak peduli seberapa baik niat prosesnya.
Timeline Design Thinking
- 1971: Victor Papanek menerbitkan "Design for the Real World," mengkritik efek berbahaya dari desain industri
- ~2015: d.school Universitas Stanford mempopulerkan "design thinking" sebagai pendekatan umum untuk inovasi
- 2015-2019: Puncak popularitas workshop design thinking dan antusiasme eksekutif
- 2020-Sekarang: Pandemi COVID-19 mengganggu pendekatan berbasis workshop, yang mengarah pada pengabaian diam-diam terhadap banyak inisiatif design thinking
Perpecahan Engineer vs Desainer
Topik hangat lainnya dalam diskusi ini melibatkan hubungan antara desainer dan engineer. Beberapa desainer tampaknya percaya bahwa pekerjaan mereka lebih menantang secara intelektual daripada engineering, dengan seorang arsitek mengklaim bahwa mendesain rumah keluarga tunggal adalah upaya paling menantang secara intelektual bagi umat manusia - diduga lebih sulit daripada membangun pesawat ulang-alik.
Sikap ini telah menciptakan ketegangan antara bidang-bidang tersebut. Engineer menunjukkan bahwa mereka berurusan dengan hasil yang objektif dan terukur serta metrik kinerja yang jelas, sementara desainer sering bekerja di area subjektif dengan kriteria keberhasilan yang tidak jelas. Perdebatan ini menyoroti kesalahpahaman mendasar tentang peran yang berbeda namun sama pentingnya yang dimainkan setiap profesi.
Bencana Perencanaan Kota
Diskusi ini juga menyentuh contoh-contoh historis design thinking yang salah, terutama dalam perencanaan kota. Komunitas menunjuk pada proyek perumahan yang gagal di tempat-tempat seperti Glasgow, Skotlandia, di mana ide-ide arsitektur dari Prancis selatan ditransplantasikan tanpa mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan lokal. Proyek-proyek ini, yang terinspirasi oleh desainer seperti Le Corbusier, menciptakan kondisi hidup yang keras yang harus ditahan penduduk selama beberapa generasi.
Kontras dengan pengembangan suburban Amerika sangat mencolok - meskipun arsitektur suburban mungkin buruk secara estetika, setidaknya itu dapat dibuang dan tidak menjebak generasi masa depan dalam monumen beton permanen untuk ego desainer.
Menemukan Keseimbangan yang Tepat
Meskipun ada kritik, komunitas tidak sepenuhnya negatif tentang potensi desain. Banyak yang mengakui bahwa desain dapat bermakna dan berharga ketika diterapkan pada masalah spesifik dan praktis daripada proyek rekayasa sosial yang besar. Kuncinya tampaknya adalah memahami apa yang dapat dan tidak dapat dicapai desain.
Karya desain yang paling sukses tampaknya terjadi ketika desainer bekerja dalam batasan yang jelas - baik finansial, teknis, atau regulasi. Beberapa menunjukkan bahwa bahkan arsitektur indah Paris dihasilkan dari pertimbangan praktis seperti kebijakan pajak dan peraturan bangunan, bukan visi estetika murni.
Perdebatan ini pada akhirnya mencerminkan pertanyaan yang lebih luas tentang batas-batas profesional dan keahlian. Sementara desainer memiliki keterampilan berharga dalam menciptakan solusi yang ramah pengguna dan dapat diakses, komunitas menyarankan mereka harus lebih rendah hati tentang kemampuan mereka untuk membentuk kembali masyarakat melalui desain saja.
Referensi: The Perils of 'Design Thinking'